21 Des 2014

Untuk si pelukis tangis


Sajak ku tak punya etika.
Ia lancang.
Lantaran bicara sebuah nama,
Yang abu kremasi-nya sudah dingin,,,
Bercampur serpih arang.

Barangkali kata-kata tak pernah durhaka.
Ia tahu apa yang Harus ia katakan.
Persoal bedebahnya rindu terpendam.
Namun sebatas eja huruf-huruf.
Yang bahkan aku sendiri tak tau,,,
Dia berada Pada bait ke berapa.
Puisi ku ambigu.
Lantas,,,
Apa rindu hanya serupa taksa ?
Sebab engkau hanya nisan pualam,
Yang selalu ku kunjungi dalam syair.
Keabadian hanya pengantar lelap.
Kata penghibur,,,
pemanjang usia romantika sepasang kekasih,
Yang masih ingin bahagia.
Karna sejak dalam mimpi kemarin,,, Aku tau,
Tak ada yang benar-benar kekal.
Kecuali mengenang sebuah kepergian.
Engkau, pagi dengan penuh bekas kecup embun.
Ada satu tetes yang berbeda yang jatuh ditanah retak.
Tatkala ia jatuh,,,
Pasti ada sekeping nyeri teramat,
Yang berkata selain lewat tinta,,,
Airmata.
Dalam setiap musim gugur,,,
Pasti ada selembar daun jatuh yang tidak terbawa angin,
Untuk Hilang,,, untuk menua dan kering, Jauh dari rantingnya.
Sebagaimana bahasa para penyair,,,
Tolong bawakan aku musim-musim lain!
Dimana pelukan hangat,
Selalu jadi alasan imaji ku untuk pulang.
Hujan pukul dua.
Untai rindu berjelaga.
Berdiri di altar perenung.
Mempersembahkan kasih sembunyi-sembunyi.
Ikhlas meng-eja luka,,,
Se-ikhlas doa-doa nya,
Teruntuk si pelukis tangis.

#‎
Jakarta‬
, 18 Desember 2014.
_aku_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar