21 Des 2014

Hayati laila majnun


Hayati Laila Majnun
Kita adalah sepotong kisah
Aku majnun dan kau laila,
Keras hati ku ukir namamu
Di ujung alinea
Hayati rasa yg tak bisa ku cegah mulanya,

Lalu kau bilang ini dekap terakhir Laila..?
Getarmu luruh
bersama gertak gugur dedaunan tak bernyali.
Namun dustamu kian berdegup
Tereja dalam sudut mata yg membasah.
Laila...
Laila Majnun tak harus beralur sama
Aku Majnun dan kau Laila,
Bukan lampau
Kita mendatang
Laila...
Kau separuhku

#eL

Jalan kepedihan


Kafka,,,
Bukankah diary sudah disunting debu ?
Setebal sesak,,,
Dimana Seseorang hanya berhias rindu di sepertiga hidupnya.
Hanya seorang penyair yang tau,

Sejauh apa airmata jatuh.
Ketika kata-kata serupa anafora,
Maka,,,
Kepedihan adalah lempung terpasung,
Yang luruh diatas kertas.
Bukan waktu, atau kita yang lebih pintar membuang perasaan.
Tapi,,,
Takdir.
Engkau sosok murni yang melenggang bebas dari iblis,
Sementara aku,
Kelana yang berjalan via dolorosa.
Perihal keabadian,,,
Mungkin benar.
Sesuatu yang palsu itu memang kekal.
Selayak mawar terakhir berwujud replika.
Teatrikal perenung,
Menggambar paras dengan tinta dari gerimis.
Tak bernama,,,
Seperti kursi tua yang alih jadi kayu tanpa bentuk.
Tak berdetak.
Sampai Seseorang yang dicintai datang,
Memberi arti.

_aku_

Barangkali engkau laguna harapan


Barangkali engkau laguna harapan.
Yang menampung air dari tetes airmata doa.
Hingga genang,
Beriak, Tapi tenang.
Sebab ada sisa ikhlas.
Tatkala rayu penyair menyunting sajak,
mungkin ada sepenggal nama,
Yang diselip dalam lirik kesedihan,
Sebagaimana tulisan para perindu,
Teruntuk yang hilang.
Angin memetik daun.
Daun mengkihlaskan semua.
Bagaimana ia belajar ketabahan ?
Sedang dalam genggam rantingnya,,,
Ia tak lebih dari pesakitan,
Yang diombang-ambing ketidakpastian.
Tunggu waktu,,,
Untuk dijatuhkan.
Setahun kemarin.
Laguna tiada mengalir.
Diam sediam diam kediaman.
Hening sehening hening keheningan.
Rasa tiada tanggal.
Patri nurani, diukir kerelaan.
Engkau tetap sekat diantara sadar dan bayang,,,
Sementara biarkan aku menjadi narasi,
Tentang bagaimana rindu tak pernah bisa pulang.
~~ angin desember ~~
_aku_

Barangkali cinta adalah peniadaan


Barangkali cinta adalah peniadaan.
Ketika usia rindu hampir selesai,
Cahaya memang sebatas sinar senyap,,,
Yang tak sanggup berkata sepatah pun kepada batu.
Kata-kata memang tak bisa dipercaya menyimpan rahasia.
Terlebih,,,
Ketika ia menjadi puisi.
Sajak yang mengoak.
Replika suara hati.
Engkau,,,
Nada do dalam oktaf ke-delapan.
Yang kemudian berhenti bernyanyi.
Bagaimana jejak suara mu terangkai ?
Mengalun hening,
Hingga disisa usia bunga rampai.
Seandai kata-kata yang lahir dari rahim ku, merangkak menujumu,,,
Timang lah ia..!!
Karna ia dilahirkan bukan atas nama takdir.
Tapi kehendak hati,,,
Yang terlalu renta berjalan tanpa penopang.
Melodi mu renyuh.
Kadang, aku lebih memilih senyap.
Menjatuhkan lagi air paling murni,
Sebagai kekata yang tak sanggup diurai nada-nada.
Mungkin ia tak kembali.
Tak akan pulang ke bagian tubuhku yang entah.
Untuk itu aku pergi.
Meski kadang resonansi nya melambai mengajak diam.
Tetap saja,,,
Aku dan kamu adalah sepasang pemurung,
Yang Tinggal di kota mati,
Tanpa bunyi.
~~ hutan, hujan ~~
_aku_

Memetik terik yg picik



Cahaya matahari redup dalam rundung gerimis.
Tapi aku tau,,,
Ini hanya hujan yang lain.
Bukan apa,
Bukan siapa.

Perihal mengenang,,,
Hanyalah zuhrah paling pedih.
Sebab,,,
Selalu ada yang tak bisa dikembalikan waktu.
Salju tak bisa mengikuti jejak buih yang terbang.
hingga airmata nya riuh,
Sebagai rambat sungai yang merangkak paling sunyi.
Seandai papirus tetap pada kekang tengah danau,
Tolong unggun segala yang membuatnya terlalu indah.
Simpan abu-nya.
Sebagai ingat yang senantiasa melawan lupa.
Ketika daun kiara jatuh,,,
Ada sesuatu yang dilepaskan.
Kendati ia tak pernah belajar tabah,
Setidaknya,,,
Ia tak pernah menyalahkan sesiapapun.
Jelma lah sebagai waktu Lalu!
Kita pernah menunjuk bintang,
Tertawa dibawah hujan,
Atau memanggil sayup kebahagiaan.
Bagaimana aku menemukan takdir,,,
Getir hanya getar kecil dari detak detik.
Sisa nya,,,
Hanya permainan dadu Tuhan.
Tentang dimana aku dilemparkan,,,
untuk diperjudikan.
~~ memetik terik ~~
_aku_

Meminjam cahaya sabit


Si buta berjalan dalam gelap.
Hujan jatuh tak menyebutkan apa-apa.
Kecuali meninggalkan genang.
Atau mengembalikan kenang.

Ketika mereka berfikir,,,
Bahwa ia hanya bisa melihat kematiannya,,,
Mereka salah.
Karna memang ada Hal yang tak bisa dilihat mata.
Memahami kekata.
Barangkali,,,
Langkahnya adalah selambatnya ia kembali.
Dan doa,,,
Adalah selemahnya ia mencintai.
Ia lelah.
Perjalanan dibimbing tongkat.
Meraba dalam hampa.
Cahaya yang berat Pada pandangan.
Seumpama bayangan.
Wahai engkau yang tapaknya nyeri.
Susungguhnya engkau telah Dilena duniawi.
Sampai kau lupa caranya berterimakasih.
Bertirakat ia mendamba petuah.
Jalan yang sebenar-benar jalan.
Lurus tuju duli Tuhan.
Demi apapun,,,
Ia sedu dalam diam.
Jika aku bisa meminjam Cahaya sabit malam ini,,,
Maka,,, bakal ku pakai untuk menuntunku pergi.
Berjalan Pada gulir waktu.
Untuk memintal lagi sembah sujud ku,,,
Yang sekian lama berhenti.
_aku_

Untuk si pelukis tangis


Sajak ku tak punya etika.
Ia lancang.
Lantaran bicara sebuah nama,
Yang abu kremasi-nya sudah dingin,,,
Bercampur serpih arang.

Barangkali kata-kata tak pernah durhaka.
Ia tahu apa yang Harus ia katakan.
Persoal bedebahnya rindu terpendam.
Namun sebatas eja huruf-huruf.
Yang bahkan aku sendiri tak tau,,,
Dia berada Pada bait ke berapa.
Puisi ku ambigu.
Lantas,,,
Apa rindu hanya serupa taksa ?
Sebab engkau hanya nisan pualam,
Yang selalu ku kunjungi dalam syair.
Keabadian hanya pengantar lelap.
Kata penghibur,,,
pemanjang usia romantika sepasang kekasih,
Yang masih ingin bahagia.
Karna sejak dalam mimpi kemarin,,, Aku tau,
Tak ada yang benar-benar kekal.
Kecuali mengenang sebuah kepergian.
Engkau, pagi dengan penuh bekas kecup embun.
Ada satu tetes yang berbeda yang jatuh ditanah retak.
Tatkala ia jatuh,,,
Pasti ada sekeping nyeri teramat,
Yang berkata selain lewat tinta,,,
Airmata.
Dalam setiap musim gugur,,,
Pasti ada selembar daun jatuh yang tidak terbawa angin,
Untuk Hilang,,, untuk menua dan kering, Jauh dari rantingnya.
Sebagaimana bahasa para penyair,,,
Tolong bawakan aku musim-musim lain!
Dimana pelukan hangat,
Selalu jadi alasan imaji ku untuk pulang.
Hujan pukul dua.
Untai rindu berjelaga.
Berdiri di altar perenung.
Mempersembahkan kasih sembunyi-sembunyi.
Ikhlas meng-eja luka,,,
Se-ikhlas doa-doa nya,
Teruntuk si pelukis tangis.

#‎
Jakarta‬
, 18 Desember 2014.
_aku_