8 Jan 2015

Pergi untuk sebuah kepergian


Berkatalah dalam dentum puisi ku!
Apa yang ku tinggalkan,
Segeralah tiadakan!

Bukankah kita sudah sepakat?
Perihal memiliki; kehilangan.
Mungkin hari ini adalah hari yang waktu itu kita sebut 'suatu hari nanti'.
Tatkala bulir doa jatuh disepertiga malam,
Ketika kemaafan adalah jalan paling lurus untuk ikhlas,
Moga sajak ini adalah pualam;
Nisan paling abadi untuk dikenang.

Kau benar.
Perpisahan, adalah pertemuan yang paling menyakitkan.
Jika aku adalah nyala api,,,
Sekarang aku tau,,,
Kau adalah abu di tungku perapian itu.
Sedia dibunuh angin,
Untuk menyusul sebuah kehilangan.

Pemilik bait ini.
Jelaga dalam nyeri tiap kalimatnya.
Mengantarkan debur ombak tuju pesisir,
Pantai malang terasing.

Barangkali,,,
Ada musim dimana Hujan turun lebih menyakitkan dari lagu sedih.
Mengoak dipelataran,
Memanggil nyeri,
Sebab tungku perapian tak menyisakan apa-apa.
Kecuali,,,
Bayang-bayang kematian api dan sisa kayu bakarnya.

Kereta ku berangkat sebentar lagi.
Aku membayangkan pelukan hangat di stasiun.
Untuk sebuah kepergian tanpa harapan.
Untuk sebuah perpisahan tanpa dendam.
Selamanya,,,
Kita adalah bahasa kematian,
Yang tak bisa dijelaskan lewat huruf.

#Jakarta, 23 desember 2014.

_aku_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar